TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
Potongan Pembantaian
Peringatan
: tulisan ini berisi seribu mayat lebih, utuh maupun terpenggal.
Seorang
wanita warga Dayak yang sedang hamil tua dibunuh orang Madura, begitulah yang
menyebar Minggu dini hari di pertengahan Februari. Saat itu masih tersisa
ketegangan beberapa bulan sebelumnya, dari maraknya perkelahian pemuda Dayak
dan Madura. Walau bentrokan sempat menyebar juga jadi perang antar suku, tapi
mampu diredakan. Sementara.
Di
bawah permukaan hidup rutin sehari-hari dendam rupanya sudah semakin matang.
Jadi begitu ada cerita tentang wanita Dayak yang dibunuh, ditambah dengan
bumbu-bumbu wanita itu sedang hamil tua dan janinnya diambil kemudian dibakar,
sekelompok warga Dayak menyerang Keluarga Matayo, pendatang asal Madura. Empat
orang tewas, satu luka-luka.
Cerita
selanjutnya bergulir seperti pola-pola sebelumnya. Serangan balasan kelompok
Madura diarahkan ke rumah yang dianggap jadi tempat bersembunyi pembunuh
keluarga Matayo. Belasan rumah milik orang Dayak di sekitarnya dibakar.
Serangan berganti lagi oleh orang Dayak. Sebuah bis yang membawa pengungsi
Madura diserbu dan 118 orang Madura mati sia-sia, sebagian dipenggal --dan
foto-foto tubuh serta kepala yang terpenggal menyebar ke seluruh dunia lewat
email plus pernyataan menyedihkan atau mengerikan. Catatan resminya, kerusuhan
seminggu itu melenyapkan 388 nyawa. Secara rata-rata --karena memang semua
nyawa tiba-tiba saja menguap menjadi angka-angka semata-- dalam satu hari di
Kalimantan Tengah pada pekan ketiga Februari Tahun 2001, 55,49 orang dibunuh.
Mati.
Golongan
Karya menggelar pentas musik dangdut di Sanggau Ledo dalam aksi kampanye
menjelang Pemilihan Umum 1997. Bakrie, seorang pemuda keturunan Madura-Dayak,
asyik berjoget dan mengajak joget seorang cewek Dayak. Seorang pemuda Dayak yang
ikut menikmati pentas dangdut itu, Yukundus, mengingatkan Bakrie, yang dianggap
sebagai orang Madura, agar bersikap lebih sopan dan jangan sampai
memaksa-maksa. Namun Bakrie tersinggung, dan mengajak seorang temannya
menghajar Yukundus, tapi Yukundus yang menang berkelahi.
Tiga
minggu kemudian, malam Minggu tanggal 29 Desember 1996, Bakrie dan Yukundus
bertemu lagi, juga dalam pentas musik dangdut. Malam itu Bakrie, yang datang
bersama sembilan orang temannya, rupanya menganggap urusannya dengan Yukundus
belum selesai. Mereka menyerang Yukundus dan abangnya, Akhim, dari belakang.
Kali ini Bakrie di atas angin. Yukundus dan Akhim dibawa ke rumah sakit,
terluka di bagian punggung dan perut. Malam itu juga, usai perawatan, keduanya
boleh pulang. Tapi sudah sempat tersiar kabar Yukundus dan Akhim mati dibunuh
orang Madura.
Sebenarnya
lebih dari seabad sebelumnya, persisnya pada tahun 1884, masyarakat Dayak
mencapai kesepakatan yang disebut Perdamaian Tumbang Anoi. Ada tiga keputusan
penting yang tercakup, yaitu dihentikannya mengayau (potong kepala),
dihentikannya perang antar suku, dan dihentikannya saling balas dendam. Namun
serangan orang Dayak terhadap orang Madura, yang dipicu oleh perkelahian Bakrie
dan Yukundus, sepertinya melanggar perdamaian itu. Disebut-sebut kalau mangkok
merah dibawa berkeliling kampung sebagai panggilan perang. Disebut-sebut juga
sejumlah kepala manusia ditancapkan di pagar-pagar besi.
Tanggal
18 Februari 1997, Mayor Jendera Zaki Anwar Makatim sempat mengumumkan korban
jiwa mwncapai 300 dalam kerusuhan Sanggau Ledo, yang menyebar sampai ke
Singkawang, Pontianak, dan ke dalam hutan-hutan di sekeliling Sanggau Ledo.
Belakangan Jenderal Hartono menarik pengumuman itu dengan alasan jumlah korban
jiwa tidak sampai pada angka 300. Sedangkan seorang pastor Katolik
memperkirakan 1000 orang Madura mati dibunuh.
Malam Minggu, pertengahan
April 2000, di Terminal Poso, Sulawesi Tengah, segerombolan anak muda
bersenang-senang menenggak alkohol. Mabuk. Satu orang mengiris tangannya dan
berteriak minta tolong karena mengaku diserbu anak muda dari kampung lain.
Persoalan hilang malam itu dan besok paginya, tiga kampung menyerbu satu
kampung. Tiga orng mati. Polisi menyatakan empat kampung yang terlibat ;
Lambogia, Kayamanya, Bonesompe, dan Lawanga.
Tiga bulan kemudian sembilan
mayat, yang tidak bisa dikenali lagi, ditemukan terapung di Sungai Poso. Semua
mayat dalam terluka akibat tusukan, bacokan, maupun pukulan benda keras. Sebagian
besar mayat diikat dengan kain hitam sedang di leheranya diikat kain merah.
Polisi menduga sembilan mayat itu berasal dari Desa Sintuwu Lembo karena
sejumlah warga desa sebelumnya itu diculik, dibunuh, dan kemungkinan besar
mayatnya dihanyutkan ke sungai.
Di Padangmari, Desa Taipa,
sekitar 95 kilometer dari Kota Poso, ditemukan 19 mayat pada Hari Minggu
Tanggal 10 September 2000. Lima diantaranya diperkirakan tewas seminggu
sebelumnya dan selebihnya kemungkinan besar sudah tertimbun selama tiga bulan.
Temuan ini menambahkan data yang sudah terkumpulkan sebelumnya menjadi 146
mayat, dan 60 diantaranya ditemukan di Sungai Poso. Mayat lainnya ditemukan di
sekitar Kelurahan Sayo, Kelurahan Mo'engko, dan Desa Malei. Bau Bangkai
menyengat di sekitar tempat itu. Bangkai manusia.
Hari
Raya Tahun 1999, saat semua umat Muslim di seluruh dunia merayakan kemenangan
berpuasa, seorang anak muda bertengkar dengan supir angkutan umum. Kebetulan
satu orang beragama Islam dan satu orang lagi beragama Kristen. Perkelahian
biasa dan rutin antar kedua orang itu, yang kemungkinan tidak pernah ke masjid
dan tidak pernah ke gereja, menular ke seluruh Kepulauan Maluku. Atas nama
Islam dan Kristen, orang membunuh orang
''Cari,
tangkap dan adili mereka, karena telah merusak persaudaraan antar uimat
beragama, yang sudah baik terjalin. Peristiwa itu bisa menjadi pemecah-belah
persatuan dan kesatuan bangsa,'' kata Wiranto di depan tokoh masyarakat
setempat di ibukota Propinsi Maluku oti, kemarin malam. Ia disertai Kepala
Kepolisian RI (Kapolri) Letjen (PolP Roesmanhadi. (kutipan Kompas Sabtu 23
Januari 1999)
Api
membubung di kawasan Gunung Nona, Pohon Pule, Jalan Am Sangaji, Perkampungan
Paradise dan Jalan Sedap Malam di kota Ambon. Pertempuran antara warga Islam
dan Kristen, atau Laskar Putih dan Laskar Merah, mulai marak sejak Minggu sore,
di suatu tanggal Tahun 1999. Masing-masing pihak siap perang, bersenjatakan
golok, tombak, bom molotov, dan senjata api rakitan. Sampai Senin pagi
pertarungan terus berlangsung. Ledakan bom molotov dan rentetan senjata api
aparat keamanan maupun senjata api peserta perang terus terdengar. Dua hari
itu, Minggu dan Senin, 34 orang mati.
Komisi
Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Mediasi Maluku mencatat 3.080
orang tewas dalam kerusuhan saling bunuh di Kepulauan Maluku sejak Januari 1999
hingga Oktober 2000. Itulah angka-angka yang dilaporkan kepada Presiden
Abdurrahman Wahid di Bina Graha pada Hari Selasa Tanggal 6 Februari 2001. Data
itu dikumpulkan Komisi dalam masa kerja mulai tanggal 19 Januari sampai 18
Desember 2000. Jadi, pengakuan Komisi, jumlah itu belum memasukkan 16 orang
yang dibunuh dalam perang berkelanjutan tertangal 19 Januari 2001. Angka
rata-rata ; 1 komisi = 1 laporan.
Hari Jumat tanggal 8 Desember Tahun 2000, hari baru saja dimulai, melewati pukul tujuh pagi. Di Terminal Kampung Rambutan Jakarta, Roni Rusmakara bin Amin, 49 tahun turun dari bis. Entah dari mana, dan oleh siapa, terdengar teriakan 'copet...copet... copet...' Seseorang mengejar Roni, dan massa beringas ikut-ikutan mengejar Roni yang menyelamatkan diri masuk ke dalam ruang peron. Pisau lipat yang digenggam Roni membuat petugas peron ketakutan dan lari keluar. Massa makin marah, menyeret Roni ke luar, menyiramnya dengan bensin dan membakarnya hidup-hidup. Roni mengerang kesakitan. Sampai mati.
Selepas tengah malam, 17 Januari 1999, seorang maling ayam tertangkap di sebuah kampung di Kabupaten Sambas. Maling ayam asal Madura itu dipukuli warga Melayu. Karuan saja orang Madura marah dan dua hari kemudian sekitar 200 orang Madura menyerbu kampung orang Melayu. Tiga orang mati. Suasana senyap sebentar, namun marak lagi karena ada orang Madura naik angkutan kota tidak bayar ongkos. Kernet angkot kesal dan melototi si penumpang yang tidak bayar itu, yang malah marah dan membacok si kernet.
Warga
Dayak, yang punya cerita perseteruan sendiri dengan orang Madura, membantu
Melayu menghabisi orang Madura tanpa pilih bulu. Pada sebuah hari saja, Kamis
18 Maret 1999, 33 orang mati di berbagai tempat di Kabupaten Sambas. Statistik
akhir dari perang ini adalah 489 orang mati, 168 orang luka berat, 3833 rumah
dibakar dan dirusak, 12 mobil dibakar,, 8 masjid dan madrasah dibakar, serta
29.823 orang Madura jadi pengungsi
Endang mendekati Vespa warna biru muda di sebuah tempat di Bekasi. Mesin Vespa menyala, Endang ngabur tapi terkurung massa. 'Bakar... bakar... bakar,' dan Endang disiram bensin, dibakar. Api dipadamkan. Endang dibawa ke sebuah rumah sakit. Pada sebuah Hari Jumat di sebuah tahun di sebuah tempat, satu orang dibakar dan mati di sebuah rumah sakit.
Tim Pencari Fakta DPR untuk
kasus Banyuwangi menyatakan kasus pembunuhan dengan isu dukun santet sejak
Januari hingga Oktober 1998 telah menewaskan 85 orang. Pelaku pembunuhan adalah
aktor intelektual perorangan dan terorganisir, penyandang dana atau provokator,
dan eksekutor. Latar belakang penyandang dana adalah pertikaian pribadi, balas
dendam, pertikaian keluarga, ataupun perebutan jabatan kepala desa. Motivasi
eksekutor adalah hasutan, balas dendam, dan dibayar. Kasus pembunuhan terjadi
di Banyuwangi (50 kasus), Jember (17 kasus), dan Pasuruan (18 kasus). Yang mati
karena aksi massa 51 orang, karena diduga ninja 23 oang, oleh orang tidak
dikenal 7 orang, tidak jelas 1 orang, dan bunuh diri 3 orang. Tim Pencari Fakta
pun mengakhiri tugasnya
SUMBER: http://www.ceritanet.com/7klip.html
Komentar
Posting Komentar